Oleh Untung S, Sabtu, 2 Juli 2016 | 13:40 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 518
Jakarta, InfoPublik- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya langsung melakukan upaya penahan terhadap lima tersangka hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan anggaran di DPR untuk alokasi Provinsi Sumatera Barat pada APBN-P tahun 2016.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, dalma keterangannya di Jakarta, Sabtu (2/7) mengungkapkan kelima tersangka itu adalah IPS (Anggota Komisi III DPR RI), NOV (Sekretaris Anggota DPR RI), SUH (Swasta), YA (Swasta) dan SPT (Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Barat).
“Kelima tersangka ditahan untuk 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini di beberapa Rumah Tahanan (Rutan) berbeda.” Kata Yuyuk.
Tersangka IPS ditahan di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan, tersangka NOV di Rutan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK, tersangka SUH di Rutan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur dan tersangka YA di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat. Sedangkan, tersangka SPT di Rutan Salemba.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan dan gelar perkara yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari kegiatan penangkapan yang dilakukan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan kelima orang tersebut sebagai tersangka. Tersangka IPS selaku Anggota DPR RI bersama-sama dengan NOV dan SUH diduga menerima hadiah atau janji dari YA dan SPT padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait pengurusan anggaran di DPR untuk alokasi Provinsi Sumatera Barat pada APBN-P tahun 2016.
Tersangka IPS, NOV dan SUH yang diduga sebagai pihak penerima, disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sedangkan, tersangka YA dan SPT diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id
KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA
Seorang pengusaha dan kepala dinas pekerjaan umum juga turut diamankan.
KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang anggota DPR. Kabar ini dibenarkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. “Betul, nanti tunggu konpers (konferensi pers),” katanya saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (29/6). Sayangnya, Agus enggan menjelaskan secara detail identitas maupun tindak pidana yang dilakukan anggota DPR tersebut. Namun berdasarkan informasi yang dihimpun, anggota DPR itu masuk dalam Komisi III. Setidaknya, terdapat tujuh orang yang diamankan oleh KPK pada saat penangkapan dini hari itu. Anggota Komisi III DPR itu diketahui bernama I Putu Sudiartana. Selain Putu, beberapa orang lainnya yang turut diamankan adalah Suhemi, Ipin dan Noviyanti (orang di lingkaran Putu), Muhlis (suami Noviyanti), Yogan (pengusaha), dan Suprapto (seorang Kepala Dinas Pekerjaan Umum di Sumatera Barat). Hingga kini, kesemuanya masih diperiksa KPK. Lembaga antirasuah itu memiliki waktu 1x24 jam sejak penagkapan untuk menentukan sikap terkait status orang-orang yang diamankan. Dalam perkara ini, Putu diduga sebagai pihak penerima uang dan seorang pengusaha sebagai pemberinya. Uang diberikan terkait dengan proyek jalan. Namun belum diketahui jelas proyek jalan di daerah mana. Begitupun juga dengan uang tunai yang diperoleh dalam penangkapan, belum diketahui jelas besarannya. Hanya ada jumlah uang via transfer sebesar Rp500 juta dalam perkara ini. Terpisah, Ketua Komisi III DPR membantah bahwa ada staf di Komisi III tertangkap KPK. Menurutnya, pemberitaan yang beredar bahwa Noviyanti, seorang staf di Komisi III telah ditangkap KPK adalah tidak benar. Menurutnya, Noviyanti yang ditangkap dan diberitakan sejumlah media itu bukanlah orang yang bekerja di Komisi III, namun staf dari I Putu Sudiartana. Hal ini penting untuk meluruskan sejumlah pemberitaan dan menghindari kesalahpahaman yang bisa berujung merugikan pihak tertentu. “Noviyanti staf Komisi III yang kebetulan namanya sama, saat ini tetap masuk kantor dan bekerja di Sekretariat Komisi III. Sedangkan Noviyanti dan Ipin yang terjaring OTT KPK adalah sekretaris dan staf tenaga ahli pribadi Bapak Putu selaku anggota DPR,” tulis politisi dari Partai Golkar itu dalam pesan singkatnya.
Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengaku siap menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang biasa dilakukan lembaga antirasuah. Pernyataan itu pun langsung disambut riuh dan tepuk tangan Komisi III DPR RI.
“Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu (OTT KPK) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP,” tutur Johanis Tanak dalam fit and proper test capim KPK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Menurutnya, penggunaan kalimat Operasi Tangkap Tangan pun tidak sejalan baik secara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Operasi itu menurut KBBI adalah seorang dokter. Yang akan melakukan operasi, tentunya semua sudah siap, tentunya semua telah direncanakan. Sementara pengertian tertangkap tangan menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadi seketika itu juga pelakunya ditangkap. Dan pelakunya langsung menjadi tersangka,” jelas Johanis Tanak.
“Kalau pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentu tidak ada perencanaan. Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu seketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat,” sambungnya.
Johanis menegaskan, penggunaan OTT tidaklah tepat. Namun begitu, selama menjadi bagian dari KPK dia tidak dapat menghentikan hal itu lantaran pimpinan yang lainnya tetap mempertahankan, dengan dalih tradisi lembaga antirasuah.
“Apakah ini tradisi bisa diterapkan, ya saya juga enggak bisa juga saya menantang,” tandasnya.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra